Sabtu, 01 Desember 2007

Memaafkan itu Indah

Samsudin Salim

Seperti disambar halilintar, seorang laki-laki baya mendadak terlihat kaget bercampur geram. Nafasnya tersengal-sengal, wajahnya berubah memerah seperti lazimnya orang yang sedang terbakar emosinya. Perasaannya seakan tercabik-cabik kala mendengar bahwa dirinya dituduh telah menggelapkan inventaris milik perusahaan dimana dia bekerja. Dia dituduh telah melakukan perbuatan kriminal yang sama sekali tidak pernah ia lakukan. Dan yang lebih menyakitkan lagi, teman sekerjanya yang selama ini dianggapnya sahabat baik, justru yang melaporkan kasus ini ke manajemen perusahaan.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, reputasi dan prestasi kerja yang pernah terukir berkat kerja keras dan loyalitas hilang dalam waktu sekejap setelah perusahaan mengambil langkah penyelesaian kasus itu di pengadilan.
Nampaknya pengadilan masih berpihak kepada kebenaran, dalam persidangan perusahaan tidak memiliki cukup bukti atas tuduhan penggelapan itu, sehingga laki-laki itu dibebaskan dari jeratan hukum. Setelah ditelusuri, ternyata orang lainlah yang melakukannya.
Kejadian itu tentu menyisakan sakit hati yang teramat mendalam. Betapa sulit melupakan peristiwa itu, sehingga selalu terbersit dalam benak laki-laki itu ”kok tega ya menuduh kawan baiknya tanpa di-crosscheck terlebih dahulu?”. Namun laki-laki itu memilih memaafkan sahabat baiknya meski butuh proses dan waktu. Laki-laki itu menyadari beban amarah dan sakit hati yang terus-menerus membebani pundaknya tidaklah bermanfaat dalam menjalani kehidupan.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa memaafkan kesalahan orang lain bukanlah persoalan yang mudah dilakukan, tetapi rela memaafkan kekhilafan orang lain adalah perbuatan mulia yang indah dipandang mata.
Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam mendorong pemeluknya agar memiliki sifat pemaaf betapapun beratnya. Tak mudah memang untuk menjadi pribadi pemaaf. Tapi toh pada dasarnya kepribadian itu bisa dipelajari dan dilatih secara berulang-ulang. Pribadi pemaaf adalah pribadi yang selalu menawarkan keindahan dan mampu menciptakan keharmonisan pada lingkungan sosial. Nabi Muhammad SAW mencontohkan betapa beliau berkali-kali dihujat, dihina, bahkan disakiti. Tetapi bukan dendam dan amarah yang membakar perasaan beliau. Yang keluar dari jiwa beliau justru untaian doa agar orang-orang yang menyakiti itu dibukakan hatinya oleh Allah. Beliau bahkan malah menjenguk menyapa dengan keindahan budi tatkala orang yang menyakitinya tengah terbaring sakit.
Al-Quran dengan gamblang menjelaskan;
“…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An Nuur, 24:22)

Ada yang berpendapat bahwa memaafkan kesalahan orang lain menunjukkan peribadi yang lemah, rendah harga diri dan mudah menerima permintaan orang lain. Pandangan di atas sangat kontradiktif dengan kajian ilmiah yang kini diyakini kebanyakan orang bahwa memaafkan orang lain sangat bermanfaat bagi kesehatan fisik dan psikis.
Penelitian yang dilakukan di negara-negara maju, dalam sepuluh tahun terakhir ini telah menyimpulkan tentang untung rugi, manfaat, kekuatan memaafkan itu. Dari hasil riset tersebut terbukti bahwa anggapan di atas adalah tidak benar. Mereka yang mampu memaafkan ternyata lebih sehat baik jasmani / raga maupun rohani / jiwa mereka. Gejala-gejala pada raga dan kejiwaan seperti susah tidur, sakit perut, dan sakit punggung akibat stress / tekanan jiwa, sangat berkurang pada para pemaaf.
Frederik Luskin, penulis buku “Maafkanlah Demi Kebaikan" menegaskan bahwa sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stress.
Tentu yang dimaksud dengan memaafkan yang menyehatkan bukan memaafkan sebatas tangan dan bibir yang digerakkkan saat bersalaman. Memaafkan yang mendatangkan manfaat bagi kesehatan fisik dan psikis dimulai dari kesungguhan disertai keikhlasan melepaskan kesalahan orang lain.
Bulan Syawal, lazimnya masyarakat Indonesia merupakan musim saling memaafkan. Tradisi mudik, silaturrahim dan Halal Bihalal menjadi pemandangan yang indah menyejukkan untuk disaksikan. Jauh-jauh mereka pulang ke kampung halamannya sekedar untuk Birrul Walidain meminta maaf kepada kedua orang tua, sanak famili dan handai taulan. Tidak ketinggalan di berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta tidak pernah absen menyelenggarakan acara Halal Bihalal. Mereka saling bersalam-salaman, bermaaf-maafan dengan tujuan agar hubungan interpersonal yang kadang-kadang meninggalkan gesekan dapat tercerahkan kembali.
Dalam membangun relasi sosial, gesekan-gesekan seringkali terjadi dan tak mungkin terelakkan. Karena hal itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika sosial bermasyarakat. Kesalahan atau kekhilafan banyak terjadi bukan karena faktor disengaja saja, tetapi tidak jarang orang lain merasa tersakiti perasaannya karena disebabkan oleh perilaku atau ucapan sederhana namun menyakitkan. Sehingga meminta maaf dan memaafkan menjadi jalan terbaik untuk menetralisir benturan itu.
Hasan Al Banna pernah menyampaikan kalimat bijak, “Kunu ma’a al-naas ka al-syajar, yarmu al-naasu bi al-hajar, yarminihim bi al- tsamar”. (Jadilah seperti pohon yang dilempar orang dengan batu, tetapi ia justru menggugurkan buah untuk mereka). Pendeknya, orang yang rela melepaskan kesalahan orang lain dilukiskan seperti pohon yang lempari batu, pohon itu malah memberikan kesenangan dan manfaat, buah-buahnya berjatuhan lalu dinikmati oleh orang-orang yang melempari. Semoga Allah menuntun kita menjadi pribadi pemaaf laksana pohon yang berbuah.

Tidak ada komentar: