Sabtu, 01 Desember 2007

Memaafkan itu Indah

Samsudin Salim

Seperti disambar halilintar, seorang laki-laki baya mendadak terlihat kaget bercampur geram. Nafasnya tersengal-sengal, wajahnya berubah memerah seperti lazimnya orang yang sedang terbakar emosinya. Perasaannya seakan tercabik-cabik kala mendengar bahwa dirinya dituduh telah menggelapkan inventaris milik perusahaan dimana dia bekerja. Dia dituduh telah melakukan perbuatan kriminal yang sama sekali tidak pernah ia lakukan. Dan yang lebih menyakitkan lagi, teman sekerjanya yang selama ini dianggapnya sahabat baik, justru yang melaporkan kasus ini ke manajemen perusahaan.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, reputasi dan prestasi kerja yang pernah terukir berkat kerja keras dan loyalitas hilang dalam waktu sekejap setelah perusahaan mengambil langkah penyelesaian kasus itu di pengadilan.
Nampaknya pengadilan masih berpihak kepada kebenaran, dalam persidangan perusahaan tidak memiliki cukup bukti atas tuduhan penggelapan itu, sehingga laki-laki itu dibebaskan dari jeratan hukum. Setelah ditelusuri, ternyata orang lainlah yang melakukannya.
Kejadian itu tentu menyisakan sakit hati yang teramat mendalam. Betapa sulit melupakan peristiwa itu, sehingga selalu terbersit dalam benak laki-laki itu ”kok tega ya menuduh kawan baiknya tanpa di-crosscheck terlebih dahulu?”. Namun laki-laki itu memilih memaafkan sahabat baiknya meski butuh proses dan waktu. Laki-laki itu menyadari beban amarah dan sakit hati yang terus-menerus membebani pundaknya tidaklah bermanfaat dalam menjalani kehidupan.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa memaafkan kesalahan orang lain bukanlah persoalan yang mudah dilakukan, tetapi rela memaafkan kekhilafan orang lain adalah perbuatan mulia yang indah dipandang mata.
Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam mendorong pemeluknya agar memiliki sifat pemaaf betapapun beratnya. Tak mudah memang untuk menjadi pribadi pemaaf. Tapi toh pada dasarnya kepribadian itu bisa dipelajari dan dilatih secara berulang-ulang. Pribadi pemaaf adalah pribadi yang selalu menawarkan keindahan dan mampu menciptakan keharmonisan pada lingkungan sosial. Nabi Muhammad SAW mencontohkan betapa beliau berkali-kali dihujat, dihina, bahkan disakiti. Tetapi bukan dendam dan amarah yang membakar perasaan beliau. Yang keluar dari jiwa beliau justru untaian doa agar orang-orang yang menyakiti itu dibukakan hatinya oleh Allah. Beliau bahkan malah menjenguk menyapa dengan keindahan budi tatkala orang yang menyakitinya tengah terbaring sakit.
Al-Quran dengan gamblang menjelaskan;
“…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An Nuur, 24:22)

Ada yang berpendapat bahwa memaafkan kesalahan orang lain menunjukkan peribadi yang lemah, rendah harga diri dan mudah menerima permintaan orang lain. Pandangan di atas sangat kontradiktif dengan kajian ilmiah yang kini diyakini kebanyakan orang bahwa memaafkan orang lain sangat bermanfaat bagi kesehatan fisik dan psikis.
Penelitian yang dilakukan di negara-negara maju, dalam sepuluh tahun terakhir ini telah menyimpulkan tentang untung rugi, manfaat, kekuatan memaafkan itu. Dari hasil riset tersebut terbukti bahwa anggapan di atas adalah tidak benar. Mereka yang mampu memaafkan ternyata lebih sehat baik jasmani / raga maupun rohani / jiwa mereka. Gejala-gejala pada raga dan kejiwaan seperti susah tidur, sakit perut, dan sakit punggung akibat stress / tekanan jiwa, sangat berkurang pada para pemaaf.
Frederik Luskin, penulis buku “Maafkanlah Demi Kebaikan" menegaskan bahwa sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stress.
Tentu yang dimaksud dengan memaafkan yang menyehatkan bukan memaafkan sebatas tangan dan bibir yang digerakkkan saat bersalaman. Memaafkan yang mendatangkan manfaat bagi kesehatan fisik dan psikis dimulai dari kesungguhan disertai keikhlasan melepaskan kesalahan orang lain.
Bulan Syawal, lazimnya masyarakat Indonesia merupakan musim saling memaafkan. Tradisi mudik, silaturrahim dan Halal Bihalal menjadi pemandangan yang indah menyejukkan untuk disaksikan. Jauh-jauh mereka pulang ke kampung halamannya sekedar untuk Birrul Walidain meminta maaf kepada kedua orang tua, sanak famili dan handai taulan. Tidak ketinggalan di berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta tidak pernah absen menyelenggarakan acara Halal Bihalal. Mereka saling bersalam-salaman, bermaaf-maafan dengan tujuan agar hubungan interpersonal yang kadang-kadang meninggalkan gesekan dapat tercerahkan kembali.
Dalam membangun relasi sosial, gesekan-gesekan seringkali terjadi dan tak mungkin terelakkan. Karena hal itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika sosial bermasyarakat. Kesalahan atau kekhilafan banyak terjadi bukan karena faktor disengaja saja, tetapi tidak jarang orang lain merasa tersakiti perasaannya karena disebabkan oleh perilaku atau ucapan sederhana namun menyakitkan. Sehingga meminta maaf dan memaafkan menjadi jalan terbaik untuk menetralisir benturan itu.
Hasan Al Banna pernah menyampaikan kalimat bijak, “Kunu ma’a al-naas ka al-syajar, yarmu al-naasu bi al-hajar, yarminihim bi al- tsamar”. (Jadilah seperti pohon yang dilempar orang dengan batu, tetapi ia justru menggugurkan buah untuk mereka). Pendeknya, orang yang rela melepaskan kesalahan orang lain dilukiskan seperti pohon yang lempari batu, pohon itu malah memberikan kesenangan dan manfaat, buah-buahnya berjatuhan lalu dinikmati oleh orang-orang yang melempari. Semoga Allah menuntun kita menjadi pribadi pemaaf laksana pohon yang berbuah.

Pencegahan AIDS dalam Perspektif Islam

Samsudin Salim

Pendahuluan

Salah satu persoalan besar yang tengah dihadapi masyarakat dunia saat ini adalah makin cepatnya penularan virus AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome), yaitu gejala-gejala penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immuno-deficiency Virus) yang ditularkan melalui transfusi darah, jarum suntik, tali pusat (bayi dalam kandungan) dan seks bebas. Jumlah orang yang terinfeksi HIV di dunia mengalami peningkatan yang luar biasa.
Menurut UNAIDS (Badan PBB untuk penanggulangan AIDS) sampai dengan akhir 1995, jumlah orang yang terinfeksi HIV di dunia telah mencapai 28 juta di mana 2,4 juta di antaranya adalah kasus bayi dan anak. Setiap hari terjadi infeksi baru sebanyak 8500 orang, sekitar 1000 diantaranya bayi dan anak.[1] Diperkirakan pada abad millenium ini di seluruh dunia mereka yang terinfeksi virus HIV/AIDS ini akan mencapai 110 juta orang dan yang akan meninggal 30-40 juta orang. Sementara di Indonesia sendiri mereka yang yang terinfeksi akan mencapai angka 2,5 juta orang.[2]
Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan penderita AIDS mencapai Rp. 164 juta rupiah per orang yang akan berakhir dengan kematian. Para ahli meramalkan bahwa jumlah biaya keseluruhan akan mencapai 33 trilliyun; suatu pengeluaran dana yang sia-sia karena akhirnya penderita akan mati juga.[3]
Menilik perkembangan obyektif tersebut di atas, maka persoalan HIV/AIDS tidak hanya memiliki dampak terhadap individu-individu penderita secara personal, akan tetapi juga memiliki dampak terhadap masyarakat dalam skala global. Meskipun upaya penanggulangan AIDS utamanya di Indonesia terus digalakkan kepada seluruh lapisan masyarakat seperti; komunitas pekerja seks, waria, kaum ibu, mahasiswa dan pelajar sekolah lanjutan, namun pada kenyataannya permasalahan HIV/AIDS memang memperlihatkan fenomena gunung es, dimana yang tampak memang jauh lebih kecil dibanding jumlah yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, pencegahan AIDS memang semestinya dilakukan secara komprehensif dan integral dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat mulai dari unsur pemerintah, tenaga medis, ulama, tokoh agama, kalangan pendidik, sampai pada struktur masyarakat terkecil yaitu peran serta keluarga. Peran segenap komponen masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu mencegah meningkatnya jumlah penderita AIDS melalui berbagai pendekatan, terutama pendekatan keagamaan. Dan pendekatan religi tidak dapat diragukan lagi menjadi alternatif solusi yang efektif bagi pencegahan virus paling ditakuti umat manusia saat ini.
Tulisan ini mencoba menguari persoalan pencegahan AIDS ditinjau dari sudut pandang Islam.

Beberapa Persoalan Seksualitas dan Tanggapan Islam

Dari berbagai upaya pencegahan AIDS, nampaknya yang paling sulit dikendalikan adalah perilaku seks bebas. Secara teknis penularan HIV/AIDS melalui transfusi darah ataupun jarum suntik mudah dicegah; yaitu sebelum transfusi darah diberikan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu dan bilamana tercemar akan dibuang atau dimusnahkan. Sedangkan jarum suntik ketentuannya adalah setiap orang (pasien) boleh memakai satu jarum suntik yang baru dan steril dan setelah dipakai langsung dibuang tidak boleh dipakai orang lain.[4] Namun persoalannya adalah bagaimana mencegah penularan AIDS melalui seks bebas ? Padahal berdasarkan penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa penularan penyakit AIDS ini 97,5 % melalui seks bebas.
Dalam kaca mata Islam seks bebas dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan seksual.yaitu pola seksualitas yang tidak beragama (tidak berdasarkan syariat). Artinya, semua tindakan yang mengatasnamakan seks tidak bisa berlangsung tanpa mendapat legitimasi dari agama. Terdapat beberapa penyimpangan seksual yang tidak mendapat legitimasi Islam:

1.Perzinaan
Dalam Islam, perzinaan masuk dalam kategori seksualitas yang tidak beradab karena berjalan di luar konsep yang disepakati oleh Islam. Seksualitas yang sah adalah seksualitas yang diridloi oleh syariat Islam. Dengan demikian, perzinaan sesungguhnya adalah bentuk lain dari penyimpangan seksual.
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina, karena ia adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan.” (QS. Al-Isra : 2)
Pengertian zina yang biasanya dikemukakan dalam kitab-kitab fiqh adalah hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada ikatan perkawinan. Bagi setiap pemeluk Islam harus meninggalkan perbuatan zina. Adapun solusi yang diciptakan Islam dalam rangka mencegah terjadinya zina antara lain adalah lembaga perkawinan. Melalui lembaga ini diharapkan manusia akan melakukan hubungan seksual dengan jalan yang baik dan lebih memiliki ikatan secara formal maupun etik dengan agama dan juga dengan pasangannya.

2. Pelacuran
Pelacuran bukan hanya sebuah gejala individual akan tetapi sudah menjadi gejala social dari penyimpangan seksualitas yang normal dan juga agama. Mengana demikian ? Karena selain berdampak terhadap individu-individu pelaku dan pemakai jasa secara personal, pelacuran juga berdampak pada masyarakat secara umum.
Secara historis, pelacuran bukan sebuah fenomena baru, akan tetapi sudah ada sejak lama. Selain pelacuran yang dimotivasi oleh unsur keagamaan[5] juga terdapat pelacuran yang dipicu oleh unsur non-keagamaan. Pelacuran model ini menjamur di mana-mana. Di Indonesia sendiri model pelacuran seperti ini terdapat di mana-mana, entah itu diorganisir oleh suatu kelompok atau dilakukan secara individual. Bahkan pada masa-masa krisis ekonomi seperti sekarang ini, prostitusi semakin hari semakin dirasakan peningkatannya. Salah satu sebabnya mungkin karena peluang mencari pekerjaan sulit sehingga banyak yang mengambil jalan pintas dengan bekerja di dunia ini.
Sebagai sebuah perbuatan yang melanggar batas-batas keagamaan, prostitusi tetap dihukumi haram, karena ini melanggar hukum seksualitas yang sudah ditentukan oleh Islam, yaitu apabila melakukan hubungan seks, maka harus didahului dengan akad perkawinan yang sah.

3. Homoseksual
Homoseksual adalah aktifitas seksual yang dilakukan oleh laki-laki dengan laki-laki. Dalam istilah lain kaum homoseks ini sering disebut kaum guy. Konon jumlah kaum guy ini lebih besar dibandingkan dengan kaum lesbian, yaitu sekitar 3-4 kali lipat. Pandangan kalangan hukum Islam terhadap dunia gay ini sangat jelas, yaitu tidak memperbolehkan
Kalangan ulama fiqh tampaknya menyepakati bahwa hubungan sesama jenis jelas tidak diperbolehkan agama. Sebab praktik demikian meniru kaum Nabi Luth yang dikutuk oleh Al-Quran. Di samping pernyataan eksplisit Al-Quran dalam kisah Nabi Luth, penghukuman atas homoseks juga bisa diambil dari Hadits Nabi :
”Dari Ibn Abbas r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: ” Apabila kamu menjumpai orang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibn Majah).[6]

4. Lesbianisme
Lesbian merupakan kebalikan dari homoseksual. Artinya, apabila hubungan homoseks terjadi antara laki-laki dan laki-laki, maka hubungan lesbian terjadi antara perempuan dengan perempuan. Tentang sejarah asal-usul lesbianisme ini juga sangat tua, setua sejarah manusia. Buktinya, persoalan ini juga mendapat tanggapan dari Rasulullah.
Dari beberapa sebab mengapa seseorang menjadi lesbian. Pertama, sudah merasa jenuh bersenggama dengan pasangan laki-lakinya sehingga membutuhkan variasi-variasi yang lebih baru. Kedua, pernah mengalami trauma dengan pasangannya. Trauma ini disebabkan oleh banyak hal. Ketiga, solusi dari ketidakseimbangan hidup.
Dari beberapa sebab yang dikemukakan oleh Marzuki Umar Sa’abah di atas, pada dasarnya merupakan sebab-sebab yang socially constructed. Untuk kasus-kasus yang socially constructed ini, pada umumnya hukum formal Islam menyatakan ketidakbolehannya. Sedangkan untuk kasus yang disebabkan oleh faktor biologis, maka kalangan ulama tidak bisa memberi hukum apa-apa kecuali dipasrahkan kepada Allah karena dilihat dari penyebabnya sangat bersifat kodrati.

Cara Efektif Pencegahan AIDS

Secara prinsipal, ikhtiar pencegahan sesungguhnya dapat dilakukan yaitu dengan cara mencegah penularan virus AIDS. Namun karena penularan AIDS terbanyak adalah melalui hubungan seksual, maka pencegahan dapat dilakukan dengan formula A-B-C. A adalah abstinentia, artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum nikah. B adalah be faithful, artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja. C adalah condom, artinya jika memang cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka harus digunakan alat pencegahan dengan menggunakan kondom.[7]
Dalam pandangan Islam, langkah efektif mencegah meluasnya penyakit AIDS adalah melalui pendekatan agama, disamping pendekatan lain, seperti pendekatan aspek medis dan pendidikan. Pencegahan terhadap penularan penyakit AIDS yang benar menurut Islam adalah dengan merubah perilaku seksual ke arah yang sehat, aman dan bertanggung jawab.
Secara ringkas dapat dikemukakan pandangan Islam dalam masalah pencegahan virus AIDS :
1.Safe sex is no sex
Untuk menyelamatkan jutaan umat manusia tertular virus AIDS, Islam memberikan solusi efektif pencegahan yaitu tidak melakukan hubungan seks sebelum nikah dan hanya berhubungan seks dengan pasangannya melalui jalur pernikahan.
Dalam Al-Quran, penyimpangan seksual sama artinya dengan pelanggaran terhadap nilai-nilai seksualitas yang luhur. Adanya unsur keji dan buruk dalam suatu perbuatan telah menjadi alasan mengapa perzinaan, pelacuran, homoseks dan lesbian termasuk penyimpangan seksual. Karena cara pandang Al-Quran terhadap seksualitas memasukkan unsure moral dan tidak semata-mata bertumpu pada perasaan individu yang bersangkutan, maka pezinaan, pelacuran, homoseks, dan lesbian yang dilakukan atas dasar suka sama suka pun termasuk dalam kategori pelecehan seksual. Dengan kata lain, kalaulah perempuan atau laki-laki yang melakukan zina tidak merasa dilecehkan atau melecehkan, maka Tuhan justru memandang hal itu merupakan pelecehan terhadap anugerah-Nya yang indah kepada manusia, yakni kesucian seks dan kesucian perkawinan.
Sebagaimana telah disinggung dalam QS. Al-Isra’ : 32, ayat ini berisi larangan terhadap zina dan apa saja yang mengarah pada zina, sehingga pengertian yang dicakup tidaklah sebatas coitus saja. Ungkapan yang berbunyi “Janganlah kamu mendekati zina” mempunyai arti tidak boleh melakukan apa saja yang biasanya menjadi pendahuluan atau bisa mengarah pada zina seperti memandang lawan jenis dengan penuh syahwat, berduaan di tempat sepi, meraba, mengelus, menggerayangi, mencium, kencan dengan pasangan selingkuh dan sebagainya.[8]
Di antara tujuan syariat Islam (Maqashis asy-Syariah) adalah memelihara kehormatan dan harga diri manusia (Hifdh al-‘Irdh) dan memelihara kesucian keturunan dan hak reproduksi (Hifzh an-Nasl). Haramnya zina dan semua perilaku yang dalam terminology modern kita sebut sebagai pelecehan seksual tidak terlepas dari tujuan ini.

2. Menolak Kondomisasi
Salah satu upaya yang digalakkan oleh sejumlah pihak untuk menghentikan penyebaran virus AIDS adalah penggunaan kondom dalam berhubungan seks. Bahkan sekarang ini untuk mendapatkannya tidaklah terlalu sulit, di sejumlah kota terdapat ATM Kondom. Penempatan ATM kondom di sejumlah tempat tentu bukan tidak ada maksud, kampanye kondom melalui ATM ini diharapkan dapat menurunkan penularan infeksi HIV.
Terlepas apakah langkah ini berhasil atau tidak, yang jelas Islam menolak langkah ini. Karena memberikan ruang yang bebas bagi penggunaan kondom tidak ada bedanya dengan melegalkan perzinaan dan menyuburkan prostitusi, padahal itu hukumnya haram dalam agama.
Di sejumlah daerah telah terjadi aksi penolakan terhadap ATM Kondom. Majelis Ulama Indonesia di beberapa daereh mengeluarkan pernyataan tegas menolak ATM Kondom. Lembaga umat Islam itu tidak dapat menerima apabila ATM Kondom dijadikan landasan alas an mengurangi penderita HIV/AIDS. Kondom bukan alat yang tepat untuk mencegah AIDS. Alat yang tepat untuk mencegah penyakit mematikan itu adalah keimanan dan pertobatan.

3. Kampanye Pendidikan Seks
Langkah efektif yang tak kalah pentingnya untuk mengantisipasi penularan HIV/AIDS adalah kampanye pendidikan seks. Perlu disosialisasikan kepada orang tua pentingnya menyampaikan informasi tentang seks kepada anak-anaknya. Demikian juga anak-anak, pelajar dan mahasiswa perlu dikenalkan pendidikan seks.
Melalui Al-Quran, Sunnah, dan kitab-kitab fiqh, Islam begitu responsive menyentuh persoalan seks. Yang menjadi masalah bagi pendidik khususnya adalah what, when, who, where, how, dan why. Topik-topik apa tentang seks yang harus diajarkan, kapan waktunya yang tepat, siapa yang mengajarkannya, di mana tempatnya, bagaimana menyampaikannya, dan apa dasar atau alasan aqli maupun naqli yang relevan dengan itu.
Pendidikan seks sudah saatnya tidak lagi dianggap tabu dikenalkan kepada anak-anak. Tentu dengan maksud agar anak-anak, pelajar, maupun mahasiswa mengerti dan memahami seks yang benar, sehat dan bertanggung jawab.
Semasa Nabi hidup, muslim laki-laki dan perempuan tidak pernah merasa malu menanyakan segala persoalan, termasuk persoalan pribadi seperti kehidupan seks; dari situ mereka mengetahui ajaran dan ketentuan hokum agama. Siti Aisyah, istri Nabi, memberikan kesaksian:
Keberhakan bagi perempuan Anshar (penduduk Madinah). Perasaan malu tidak menghalanginya dalam usahanya mencari pengetahuan agama.” (Semua kitab Hadits kecuali Tirmdzi)
Cara seorang perempuan bertanya kepada Nabi secara langsung atau melalui perantaraan istri Nabi adalah bukti bahwa masalah seksual tidak tabu, tetapi harus diakui dan dihormati. “Malu adalah sebagian dari Iman,” seperti yang diajarkan Nabi, tetapi beliau juga mengajarkan: “Tidak boleh malu dalam masalah-masalah agama … bahkan jika menyangkut aspek-aspek kehidupan seksual.”
Inilah keyakinan kita bahwa fakta tentang seks harus diajarkan kepada anak-anak dengan cara-cara yang setaraf dengan usia pertumbuhan mereka, baik di rumah ataupun di sekolah. Perlu ditekankan bahwa pendidikan ini harus dilaksanakan dalam keseluruhan konteks ideology Islam dan kehidupan sosial supaya para remaja di samping memperoleh pengetahuan fisiologis dengan baik, memiliki kesadaran penuh akan kesucian hubungan seks dalam Islam, dan dosa besar bila menodai kesucian ini, baik dari sudut Islam ataupun lebih penting lagi dalam pandangan Allah.[9]

Penutup
Berdasarkan catatan-catan di atas, dapat disimpilkan bahwa cara efektif mengantisipasi makin meluasnya penularan AIDS dalam pandangan Islam adalah dengan menjaga kesucian hubungan seks. Menghindari seks bebas harus menjadi kunci utama pencegahan AIDS, karena dampak yang ditimbulkan dari perilaku seks bebas tidak saja bermuara pada individual penderita, tetapi telah menjadi masalah global yang sangat mengkhawatirkan.

[1] Adi Sasongka, dalam www.yahoo.com
[2] Dadang Hawari, Gerakan Nasional Anti Mo-Limo, (Yokyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2001) hal. 43
[3] Ibid.
[4] Ibid. hal. 43-44
[5] Di India, pelacuran dilakukan oleh perempuan-perempuan yang berasal dari kasta rendahan. Prostitusi ini dilakukan untuk tujuan keagamaan karena ada keyakinan bahwa perempuan perlu dilahirkan kembali sebagai pria dengan menjalani salvation (penyelamatan diri). Lihat Marzuki Umar Sa’abah, Seks dan Kita (Jakarta: Gema Insani Press, tt) hal. 83
[6] Ibn al-Atsir, juz IV, no. Hadits:1858, hal. 305
[7] Adi Sasongko, Ibid.
[8] Badriyah Fayumi, Islam dan Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam “Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan”, (Jakarta: Rahima, 2002) hal. 119-120
[9] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Seks, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 148-149